Redefinisi Pustakawan: Kembali Menghidupkan Jiwa Profesi

Profesi pustakawan dinilai mulai kehilangan arah. Di tengah perkembangan teknologi dan tuntutan kerja yang makin kompleks, pustakawan dianggap makin jauh dari tujuan awal profesinya: membantu manusia berpikir, tumbuh, dan berkembang lewat pengetahuan. Hal ini disampaikan dalam seminar nasional bertajuk “Redefinisi Kepustakawanan Indonesia” yang digelar Perpustakaan Nasional RI dan Kappa Sigma Kappa Indonesia (KSKI) pada Senin, 16 Juni 2025.

Seminar ini membahas kembali pemikiran Blasius Sudarsono, tokoh pustakawan Indonesia yang dikenal dengan gagasan-gagasannya yang reflektif dan kritis. Salah satu yang menyampaikan pandangannya adalah Lydia Christiani, M.Hum., dosen Ilmu Perpustakaan dari Universitas Diponegoro.

Menggugat Peran Pustakawan Modern

Dalam seminar tersebut, Lydia Christiani, M.Hum., dosen Ilmu Perpustakaan Universitas Diponegoro, mengangkat dua karya Blasius yang cukup reflektif: “Cerita tentang Pustakawan dan Kepustakawanan” serta “Menuju Era Baru Dokumentasi.” Dari dua karya tersebut, Blasius terlihat sangat kritis terhadap kondisi pustakawan yang terjebak dalam rutinitas kerja dan penggunaan teknologi, namun kehilangan semangat dasarnya.

Menurut Lydia, Blasius mengajak pustakawan untuk menyadari bahwa profesi ini bukan hanya soal mengelola data, sistem, atau katalog, tetapi tentang bagaimana membantu orang tumbuh melalui pengetahuan. Jika pustakawan hanya bergerak sesuai sistem, maka peran sosialnya bisa hilang. Padahal pustakawan itu harus hadir sebagai penggerak dan pendamping masyarakat belajar.

Blasius juga mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat, sedangkan nilai kemanusiaan tetap harus menjadi pusat dari praktik kepustakawanan. Maka dari itu, ia mendorong redefinisi profesi ini sebagai cara untuk mengembalikan makna pustakawan sebagai manusia yang melayani manusia.

Menyeimbangkan Semangat dan Kecakapan

Dalam pemikiran Blasius, profesi pustakawan harus dijalani dengan keseimbangan antara dua sisi penting: the soft side dan the hard side. Sisi pertama menyangkut semangat, panggilan hati, komitmen, dan idealisme. Sisi kedua berkaitan dengan kemampuan berpikir logis, mengelola informasi, dan menjalankan tugas secara profesional.

Keseimbangan keduanya dianggap sebagai inti dari kepustakawanan. Tanpa semangat, pustakawan bisa menjadi kaku dan kehilangan empati. Sebaliknya, tanpa keterampilan, semangat yang besar tidak akan membawa hasil nyata. Maka, Blasius menekankan pentingnya mengembangkan kedua sisi itu bersamaan agar pustakawan tumbuh sebagai pribadi yang utuh dan berdampak.

Lydia juga menambahkan bahwa dalam proses ini, pustakawan tidak hanya bekerja secara teknis, tapi juga perlu membangun kesadaran diri. Menjadi pustakawan artinya bersedia terus belajar, berefleksi, dan menulis sebagai bentuk kontribusi pemikiran.

Pustakawan sebagai Manusia yang Menginspirasi

Lebih dari sekadar profesi, Blasius memandang kepustakawanan sebagai panggilan hidup. Untuk itu, ia merumuskan lima bekal penting yang harus dimiliki seorang pustakawan: berpikir kritis, membaca, menulis, berwirausaha, dan beretika. Kelima bekal ini menopang empat pilar yang menurutnya harus dimiliki: panggilan hidup, semangat hidup, karya pelayanan, dan profesionalisme.

Blasius juga mengajak pustakawan untuk tidak takut berpikir kreatif dan bertindak inovatif. Ia bahkan mendorong semangat wirausaha, bukan untuk mencari keuntungan materi, tetapi sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat melalui ide, tulisan, dan karya. Dalam pandangannya, pustakawan bisa menjadi pelaku perubahan sosial yang berkontribusi lewat cara yang sederhana namun berdampak. Melalui seminar ini, gagasan-gagasan Blasius kembali dihidupkan, bukan untuk romantisme masa lalu. Blasius ingin kita tidak lupa bahwa pekerjaan ini berakar dari kemanusiaan.